Selasa, 02 September 2008

MAKNA BUDAYA ‘WIWITAN’ / The Meaning of ‘Wiwitan’ Culture

Oleh: Suharno

Begitu banyak budaya Jawa yang ada dan hidup di lingkungan masyarakat. Adanya perkembangan dan perubahan zaman, ternyata telah mempengaruhi keberadaan budaya Jawa itu sendiri. Bila kita kembali mengingat masa kecil, tentu kita akan ingat ketika bapak tani akan menanam padinya. Kita akan diundang untuk mengikuti “wiwitan”. Wiwitan yang dalam bahasa Indonesia berarti memulai panen, sebenarnya memiliki makna yang tinggi dalam masyarakat Jawa. Didalam wiwitan terjadi interaksi horizontal antara manusia, dan alam, sedangkan interkasi vertikal terjadi antara manusia dan sang pencipta.

Letak interaksi horizontal antara manusia dan alam ditunjukan dalam prosesi “ngguwaki” (membuang). Prosesi ini dilakukan dengan membuang sesaji di pojok-pojok sawah. Pada upacara wiwitan pada umumnya menggunakan sesaji seperti: nasi, buah-buahan dan snack-snack makanan kecil. Bagi masyarakat tertentu prosesi membuang sesaji dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia, karena dalam prosesi ini yang dia buang adalah makanan. Dari sudut pandang ilmu pertanian, prosesi membuang sesaji adalah hal yang positif. Mengapa demikian? Ketika makanan dibuang di pojok-pojok sawah, makanan seperti nasi, buah-buahan, dan makanan yang lain akan menjadi makanan bagi cacing-cacing tanah dan mikroorganisme lain, sehingga cacing dan mikroorganisme dalam tanah berkembang lebih baik dan tanah akan menjadi subur. Bila tanah subur diharapkan hasil panenan pun akan melimpah. Disinilah telah terjadi interaksi antara manusia dengan alam dimana interaksi tersebut saling menguntungkan.

Interaksi vertikal dalam prosesi wiwitan terlihat bahwa prosesi ini adalah sebagai alat untuk rasa bersyukur terhadap sang pencipta atas hasil panen yang melimpah. Rasa syukur ini diwujudkan dengan membagi-bagikan makanan yang sekaligus sebagai sesaji kepada masyarakat di sekelilingnya yang pada umumnya adalah anak-anak kecil.

Bila dilihat pada penjelasan diatas, maka sangatlah tidak tepat bila budaya wiwitan untuk memulai penen padi adalah membuang makanan sebagai sesuatu yang sia-sia. Untuk itulah budaya wiwitan yang sudah lama ada dalam masyarakat Jawa perlu dilestarikan.


By Suharno

There are many Javanese cultures still in use by the society. Because of the time changes, thus evoke the existence of Javanese culture. If we remembered when we were young, our memories went to the time farmer would plant paddy, and we were invited to follow the “wiwitan”. Wiwitan which its meaning is to start harvest, it is actually has meaningful value for Javanese society. In “wiwitan”, the case is horizontal interaction occur between human and nature, also vertical interaction between human and God, The Creator.
Horizontal interaction point between human and nature was showed in ‘ngguwaki’ (throw) procession. This procession was conducted by throwing some ritual offering such as rice, fruits, vegetables and snacks at the corner of the field. For some society this procession regarded as useless thing because food were thrown away. But from farming point of view the procession has good point. Why so? When some food were throw at the corner of field, those could be eaten by worms or other micro organism so the worms and micro organism will make the land fertile. If the land is fertile, the crops will be plentiful. Here, the mutual interaction between human and nature happened.
Vertical interaction which was shown is the procession to express gratitude to God for the plentiful crops. The expression was shown by giving foods, which is also the ritual offering to the surrounding society, mostly are for the children.

Uang Kuno di Utara Pasar Bringharjo

Oleh : Suharno dari Komunitas Kejawen Jogja

Yogyakarta selain dikenal sebagai kota budaya dan pendidikan, juga dikenal sebagai kota yang unik dan kota serba ada. Kita membutuhkan pakaian, makanan, hasil kerajinan, bahkan sampai benda-benda antik dan koleksi, semua ada di Jogja. Untuk mendapatkan benda antik atau benda koleksi kita cukup menelusuri gang yang berada tepat disebelah utara Pasar Bringharjo.
Di gang ini ada sekitar 35 kios yang berjualan benda-benda cantik dan benda koleksi. Bagi kolektor benda antik di gang ini kita bisa dapatkan benda-benda antik seperti setrika arang, kartu pos, perangko, patung, kacamata model lama bahkan komponen Tv yang komponennya sangat sulit untuk didapatkan di toko.
Bagi pecinta koleksi uang lama bisa datang ke tempat ini dan memiliki uang yang diinginkan untuk dikoleksi. Untuk mendapatkan uang kertas lama kita cukup mengeluarkan dana lima ribu rupiah untuk uang kertas buatan Indonesia, sedangkan untuk uang buatan luar negeri dibandrol mulai sepuluh ribu rupiah. Uang kertas lama dengan harga tigaratus ribuan juga tersedia di gang ini. Beberapa uang lama buatan luar negeri ada yang buatan Jepang, Brazil dan Jerman . Uang lama logam di gang ini juga banyak dijual . Rata-rata uang lama logam disini dihargai mulai seribu rupiah. Tahun yang ada di mata uang yang dijual di gang utara Pasar Bringharjo ini ada yang tahun 80an, 70an, 60an bahkan yang tanpa tahun pun juga tersedia. Bila ingin melihat uang logam bertuliskan huruf latin, huruf jawa dan huruf arab dalam satu mata uang di gang utara Pasar Bringharjo ini, barang tersebut sangat mudah didapatkan. Kaset-kaset lagu lama di gang ini juga sangat mudah didapatkan seperti koleksi tahun 80an dan 70an.
Anda ingin berjalan-jalan di gang utara Bringharjo? Kios-kios disini akan buka mulai pukul 8 pagi samapi 5 sore dan akan ramai dikunjungi pengunjung pada musim liburan. Bila Anda ingin membeli benda-benda koleksi yang original sebaiknya Anda teliti dengan cermat supaya Anda tidak mendapatkan benda koleksi yang dipoles.

Rabu, 23 Juli 2008

Kedjawen Pejuang Budaya Nusantara



Masyarakat adat Kedjawen - Yogyakarta, bersama massyarakat adat lainnya mengikuti kegiatan "Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Komunitas-komunitas Adat Untuk Pembuatan Film, Penulisan dan Gerakan Budaya" yang diselenggarakan ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) di Villa Taman Eden Kalliurang - Yogyakarta, tangga 2-6 Juli 2008